Larangan dan Title orang tua - Ini bukan
sekali, dua kali atau tiga kali. Pertanyaan yang sama sering kali aku ajukan.
Tapi jawaban yang kudengar tetap sama.
“Tidak! ”
Sebenarnya
pertanyaanku hanya sepele.
“Boleh enggk aku sambil kerja?”
Dari dulu
aku enggak bisa diam orangnya. Bagiku waktu adalah segala kunci dari pintu di
masa depanku kelak. Melihat aku libur kuliah, dirumah cuma makan, megang hp,
rebahan, ngetik engga jelas di keyboard laptop (salah satu tulisan ini haha)
membuat beban sendiri dalam diriku. Dimana aku engga bisa mandiri finansial dan
masih membutuhkan uluran tangan orang tua. Ahh,
bener-bener ngebuat dadaku sesak.
Aku ingin mandiri, punya uang sendiri, bebas.
Pernah, aku
sudah menyusun rencana matang untuk tetap tinggal di kota tempatku belajar
selama liburan semester. Tapi ketika dering telfon berbunyi, lalu suara
diseberang menyuruhku untuk pulang. Segeralah aku pulang, meninggalkan semua schedule yang sudah aku susun. Sedih
sih, tapi aku tidak ingin mengecewakan mereka yang sudah menungguku selama 6
bulan.
Apakah
kalian juga sama?
Yahh,
mungkin pemikirin orang tua satu dengan orang tua lainya berbeda. Orang tuaku
cenderung membatasi semua aktivitasku, memantau gerak geriku, aku seperti
tawanan perang. Tapi, eits! Jangan
salah tangkap ya. Orang tuaku punya maksud sendiri untuk itu, meskipun maknanya
tersirat tapi aku bisa memahaminya. Memang aku bukan psikolog yang tahu segala
pesan dari mimik wajah, gesture tubuh ataupun penekanan kata yang diucapkan. Namun
entah dari mana, aku cukup tahu suasana hati seseorang disekelingku. Kalian
juga sama kan?
Pernah
denger nggak ucapan ini? ”Masa lalu harus
ditimbun dalam-dalam agar tidak ada sakit hati yang tersisa”
Menurutku
pribadi semua itu tidak tepat. Yahh, memang ada beberapa kejadian yang harus
diabaikan, tapi tidak harus dikubur kok. Masa lalu dijadikan pembelajar untuk
masa depan. Sama dengan larangan tadi. Dari dulu, semakin aku dilarang semakin
penasaran pula dengan hal yang akan terjadi. Akhirnya, aku tahu dan menyesal
tentunya. Berkali-kali larangan itu aku buat candaan dan sekarang alam seakan
mengutuk-ku. Eits, apa kamu percaya
dengan kutukan? Aku sih tidak.
baca juga : siapakah aku sebenarnya? Aku adalah kamu atau aku adalah mereka?
Beberapa
kejadian di masa lalu memberiku tamparan keras, bahwa orang tua adalah guru
paling benar dan paling bijaksana. Sepandai apapun anak-anaknya kelak, seberapa
panjangnya title anak-anaknya kelak.
Tetaplah orang tua yang paling pandai dan memiliki title yang paling panjang.
Orang tuaku
bukan sarjana, mereka hanya lulusan SMA. Bagaimana bisa dibilang memilki title yang paling panjang?
Itu juga
pertanyaan dan jawabanku dulu. Sebelum aku mengalami masa-masa yang berbeda.
Sadar
tidak? Title itu tidak hanya
didapatkan pasca kamu wisuda. Coba deh lihat dunia yang lebih nyata. Dimana
banyak pejabat kaya raya yang ketika mudanya sibuk bekerja, lalu sekarang
tinggal menyebutkan title yang dia
inginkan. Keluar dah ijazah tanpa makan bangku kuliah. Mudah bukan?
baca juga : Apakah aku hanya pemimpi?
Lalu
bagaimana dengan orang tua yang hanya lulusan SMA? Mereka tidak perlu title dalam bentuk tulisan dan ijazah
dalam bentuk kertas. Title yang panjang
itu dari kamu sendiri. Dimana kamu bisa mempercayai ucapan orang tuamu,
larangan orang tuamu atapun titah orang tuamu. Mereka akan mendapatkan title itu dengan sendirinya.
Dan akupun
sudah melakukanya saat ini. Demi memberikan title
paling panjang diantara orang tua lainya, aku akan berusaha menuruti
larangan itu. Berusaha bilang “ Baiklah” dari pada “Bodo amat!”
Bagaimana
dengan kalian?
Komentar
Posting Komentar