Langsung ke konten utama

Cerpen "Maafkan Aku"

MAAFKAN AKU

By : Ruangku

“Ada apa, Ren?” Mama menepuk bahuku pelan, mengalihkan pandanganku dari 3 orang yang berjalan sembari tertawa, salah satunya Tania.

“Ha? Tidak, Ma. Tidak ada” jawabku sekenanya, mama mengikuti arah pandangku.

“Eh, itu bukanya Tania, ya? Kok enggak nyapa kamu, Ren?”

Pertanyaan yang sama.

“Mungkin tidak lihat kali, Ma”

Bohong. Aku memang berbohong agar mama tidak khawatir melihat hubungan persahabatanku sedikit retak atau bahkan memang retak. Nyatanya, tadi Tania sempat melirik ku sinis. Tidak ada senyuman atau lambaian tangan.

Suara Mall dengan lantai 5 ini sedikit sepi, hanya alunan music klasik yang diputar disudut ruangan. Mood ku untuk memilih baju sudah rusak, aku meninggalkan mama yang masih sibuk memilih baju dengan bandrol discon 70%. Memilih duduk di sisi toko, menatap usang sepatu dari Tania kado tahun lalu.

“Hallo, kak?” suara anak kecil yang sudah cemot dengan cream coklat membuat ku mendongak. Bingung.

“Hai? Ada apa, dik?” aku celingukan. Was-was kalau anak ini sedang mencari ibunya atau memang nyasar. Lalu, dia mengulurkan bunga Lavender. Kesukaanku.

Aku menerima dengan penuh hati-hati. Takut jikalau bunga itu sengaja diberi racun untuk membunuhku. Tidak lama, anak itu berlari menjauh lalu hilang di sudut toko. Aku kembali menatap bunga dengan daun satu yang masih setia ditangkainya.

“Taniaa! Berhenti disanaa!!!” aku masih terus mengejar Tania yang mengambil seikat bunga Lavender rancanganku.

“Lari dong, Ren. Ambill ini!” Tania masih bergerak sembari menggerak-gerakan bunga itu di udara.

Aku berhenti, “Udah deh, main kejar-kejaranya,” mengambil nafas panjang “Nyerah deh aku, AKU KALAH TANIAAA,” lanjutku sembari teriak.

Tania tidak gentar dia masih memancingku ikut mengejarnya. Detik berikutnya, Tania terduduk sambil memegang kepalanya tampak kesakitan. Kakiku layaknya robot otomatis, melesat berlari kearah Tania.

“Kamu kenapa, Tan?” panik bukan main, aku berusaha mencari pertolongan di Taman yang sepi ini. Tapi nihil, tak ada seorangpun yang tampak.

“Tan?”

Tiba-tiba Tania tertawa keras. Apakah dia kesurupan hantu senja?

“ Sahabatku yang imut ini memang lucu ya kalau sedang panik?” Tania tertawa lagi lebih keras. Sedangkan aku masih terduduk. Bengong.

“Yuk, pulang. Sudah sore nih,” Tania berdiri “gue tadi cuma acting, kok” lanjutnya masih dengan sisa tawa yang cukup renyah sembari mengibas-ngibaskan rok biru. Seragam SMP kami.

“RENAA!!”

Aku menutup telingaku spontan. Melihat mama yang sedang berkacak pinggang di depanku dengan beberapa tas yang sudah berisi baju.

“Engga usah teriak dong, Ma. Kan malu diliatin orang-orang,” protesku cemberut.

“APA KAMU BILANG? MALUAN MAMA YANG NGAJAK BICARA KAMU, TERUS DIANGGURIN DARI TADI!!”

Segera kuseret mama dari mall ini menuju parkiran sepeda motor. Mama masih mengomel karena kebiasaanku yang suka melamun akhir-akhir ini. Aku mengambil nafas panjang. Tania, kamu kenapa?

***

Baluran cat putih salju menghiasi dinding setiap lorong rumah sakit. Kakiku terus berjalan beriringan dengan Mama. Wanita yang berumur 42 tahun itu tampak senang, senyumnya merekah seindah bunga matahari di pagi hari. Hari ini aku tes kesehatan di Rumah Sakit terbesar di kotaku dan dinyatakan sehat secara keselurahan. Lusa, aku akan mulai tes untuk masuk perguruan tinggi impianku. Tania? Entahlah apa kabar dengan dia. Setelah Ujian Nasional selesai, Tania tidak ada kabar. Aku berusaha mencarinya selama 4 bulan terakhir tapi seperti permainan petak umpet oleh berbagai pihak. Tidak ada yang memberitahu keberadaan Tania.

“Kamu sudah siap kan, Ren?”

“Siap kok, Ma. Aku pasti dan harus lolos tes ini, “ aku mantap menjawab pertanyaan mama karena selama 1 tahun aku mempersiapkan diri untuk tes ini. Kami berjalan menuju koridor rumah sakit. Ujung mataku menangkap sosok pasien yang sedang berada dikursi roda.

“Mama ambil mobil dulu ya, Ren!?” aku mengangguk. Mataku masih focus oleh sosok pasien itu. Tampak familiar.

“Adek Tania, saya bantu ya?” seorang suster tengah baya membantu pasien itu memutar kursi rodanya dan kini berhadapan denganku.

Bagai ditampar Giant, tubuhku terhuyung kebelakang. Kakiku lemas seperti kehilangan rangka, sedangkan bibirku terasa dingin dan bergetar. Pencarianku terjawab, Tania di depanku dengan keadaan yang tidak aku inginkan. Tubuhnya tinggal tulang tanpa lemak, bibirnya pucat pasi,sedangkan matanya terlihat hitam bak mata panda. Tania menatapku dengan air muka yang tidak bisa diartikan, lalu air mengalir membasahi pipinya.

Tubuhku menghambur, kupeluk Tania erat. Kami menangis sesenggukan, melepas rindu dan meredam amarah.

“Kenapa kamu menghindar, Tan?” pertanyaan yang ingin kulontarkan selama 6 bulan terakhir. Aku melepas pelukan kami, tubuh Tania bergetar tak karuan seperti menahan sesuatu.

“Maafkan aku”

Dua kata yang tidak aku butuhkan saat ini. Aku hanya ingin alasan dia menjauh. Apakah karena dia sakit? Atau karena papaku yang divonis penjara karena kasus pembunuhan? Atau bahkan aku bukan sahabat yang baik?

“Maafkan aku,” ulang Tania.

“Tan, aku sudah memaafkanmu tanpa diminta. Aku hanya perlu alasan! Please jawab aku!”

Tania mendongak demi melihatku. Dia mengambil nafas beberapa kali.

“Aku sakit meningitis. Aku tidak mau membuatmu sedih ketika aku sudah tiada. Maafkan aku, Ren.”

 

baca juga : cerpen "aku menantikanmu, nak"

baca juga: cerpen "this is life"

 

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

ON LIBRARY

  Perpustakaan selalu menjadi tempat terbaik bagi saya sejak kecil. Tempat paling sepi, sunyi, nyaman dan menenangkan. Ya, karena saya tidak suka keramaian. Sejak SD saya pikir bahwa saya tidak punya peristiwa yang menggemaskan ketika berada di perpustakaan, ya hanya gitu-gitu aja. Datang ke perpus ngambil buku lalu tidur. Datang ke perpus ngambil TTS lalu ngisi sok pintar, nyatanya saya enggak tahu tuh system TTS. Hahaha Tapi entah ada angin dari mana, siang ini angin menyeret saya ke masa lalu. Saat peristiwa konyol terjadi. Yaps, peristiwa itu berlatar di perpustakaan. BERAWAL DARI KEBISINGAN Saat itu jam 1 siang, saya ke kampus dengan tergesa-gesa. Maklum tidur siang kebablasan , jadinya ya telat. Sesampainya di kampus, sebelum naik lift saya cek notif ponsel yang ramai banget dan ternyata kelas hari ini pindah jam karena dosen masih rapat jurusan. Ahh, benar-benar menyebalkan. Inginku mengumpat, tapi takut dosa. Jadinya pasrah saja. Kondisi yang masih setengah meng...

Ragu Masak Karena Takut Salah Resep? Kunjungi Rinaresep.com

Ragu Masak Karena Takut Salah Resep? Yuk Kunjungi Rinaresep.com - Resep makanan  menjadi salah satu kebutuhan bagi beberapa orang yang belum lihai memasak. Seperti saya contohnya. Sedikit cerita, sebagai mahasiswi ilmu gizi, sudah biasa dengan kegiatan masak memasak. Namun, saya sendiri nol dalam hal dapur. Karena adanya pandemi ini membuat kegiatan kampus dilakukan secara daring, salah satunya praktikum. Seperti pukulan besar karena saya disuruh praktikum sendiri dirumah, lalu hasilnya dalam bentuk foto dan laporan. Saat itu, kegalauan mendesakku. Kuota nipis untuk membuka you tube, sedangkan wifi tetangga sudah di putus (miris banget deh hidup mahasiswa ginian) Baiklah, jalan satu-satunya cari referensi di web dan taraaaa. Saya menemukan salah satu situs website yang, Masya Allah kenapa baru nemu sekarang coba. Ya! Rinaresep.com merupakan web yang seharusnya sudah digunakan sebagai referensi semua orang. Tampilan kekinian dengan foto-foto makanan yang menggugah selera untuk dibu...

TPA Pakusari - Tempat Mencari Rasa Syukur

Kali pertama aku mengunjungi tempat pembuangan sampah akhir (TPA) di Kabupaten Jember, tepatnya di Kecamatan Pakusari. Pusat pembuangan sampah di kabupaten jember. Dari jarak jauh tentu saja sudah tercium bau menyengat sampah, aku kira tempat itu bakal sangat kotor dan tidak terurus. Ternyata setelah melewati pintu masuk, di halaman utama sangat bersih, ada beberapa tanaman bunga maupun pohon juga tak lupa berbagai hiasan yang terbuat dari botol bekas. Sebelum masuk ke lokasi gunungan sampah, kami--aku dan kedua temenku meminta ijin kepada pengelola TPA. Cukup lama berdiskusi akhirnya kami diberi izin untuk masuk sekaligus mengambil dokumentasi. Aku sangat exited menelusuri TPA itu, mungkin memang sedikit terganggu dengan bau sampah yang menyengat. Tapi saat itu masih dalam keadaan pandemi. Sehingga tidak terlalu banyak orang serta kami mematuhi protokol kesehatan, salah satunya menggunakan masker berlapis. Yaps, bau sampah tidak terlalu menusuk hidungku jadi aman sih. Doc. Pribadi Jar...