Ada beberapa kisah yang memang tidak bisa diungkapan dengan kata-kata. Ada juga beban yang tak perlu dibagi dengan sesama. Deretan kisah cukup disimpan diam dalam hati, lalu mengucap syukur kepada sang pencipta.
![]() |
cerpen "Aku menantikanmu, Nak" |
Kali ini aku menuliskan kisah yang sering kali ku lihat. Kisah yang selalu mengundang air mataku kala aku melihatnya sendiri. So, semoga menghibur;)
Aku menantikanmu, Nak.
by: ruangku
Tulisan ini tentang kisah seorang ibu yang berjuang. Ibu ini hanya memiliki satu anak perempuan. Suaminya telah lama tiada dan sekarangpun ia tinggal sendirian dirumah yang sudah menua. Putrinya itu merantau ke pulau sebrang untuk mencari ilmu dengan harapan mendapatkan pekerjaan sebagai PNS. Setiap malam ibunya berdoa kepada Allah agar putrinya mau pulang ke kampung halaman, sekedar menjenguk ibu itu. Dalam doa, hanya raut wajah putrinya yang sedang tertawa di ingatanya, lagi berharap untuk melihat tawa itu secara langsung. Setiap pagi ibu itu hanya duduk di teras rumah sembari menganyam bambu yang nantinya dijadikan caping, sebagai sumber pencaharianya. Tatapan itu terkadang menelisik ke jalan yang penuh batuan, berharap melihat putrinya datang dengan senyum yang merekah.
Sudah hampir 4 tahun, putrinya itu juga belum menampakan wajahnya. Membuat kegelisahan dalam hati ibu itu bertambah parah. Lalu, disaat melamun tetangga sebrang jalan datang dengan raut yang sulit diartikan. Berusaha tersenyum meskipun ada beberapa lipatan-lipatan didahinya. Tetangga itu duduk, menghadap ke barat berhadapan dengan ibu itu. Ibu itu hanya diam sambil sesekali mengambil bambu yang sudah di iris tipis. Menit-menit seanjutnya hanya diisi oleh hembusan nafas dua hamba Allah itu. Lalu si tetangga mulai berucap, bercerita dengan terbata-taba. Tak tertinggal buliran air mata berjatuhan. Anak ragil tetangga itu baru pulang dari kota besar untuk kuliah, tapi yang didambakan bertahun-tahun berujung kesedihan. Kabar burung yang mengatakan anak itu tidak benar-benar kuliah ternyata benar. Si tetangga tidak mengira bahwa anak kesayanganya berbohong selama ini. Sedangkan ibu itu, hanya diam. Akhir-akhir ini si ibu hanya menjadi pendengar yang baik. Sesekali mengangguk lalu menepuk bahu si tetangga.
Matahari mulai terbenam menyambut senja dengan mega merah menghiasi langit. Ibu itu sangat suka senja, tetapi rasa itu berangsur-angsur menghilang. Sebab senja tak lagi sama saat dulu ia dan putrinya duduk di teras ini melihat senja. Ibu itu kembali menerawang langit, menengadah. Air mukanya tampak lelah dan kusut. Ibu itu kembali berbicara dengan sang pencipta, mengapa putrinya belum kembali? Apakah ada rahasia yang sedang tidak diketahui seperti anak tetangganya? Apakah putrinya sungguh sangat sibuk, bahkan hanya untuk menelepon? Ibu itu mendesah pelan.
Pagi itu sang ibu tidak hendak masak, ia menunggu di samping pintu. Seseorang yang dinantikanya bertahun-tahun. Putrinya. Semalam ibu itu bermimpi putrinya itu kembali dengan pakaian wisuda. Tampak cantik. Senyum ibu itu tak berubah, tetap merekah. Hatinya bergejolak tak sabar. Nanti, jika putrinya baru berjalan di ujung belokan, ibu itu akan memeluknya. Bercerita banyak betapa ia sangat merindukan hari ini. Lalu menyuapi putrinya dengan oseng tempe, makanan kesukaan mereka. Bayang-bayang itu menggelitik perut si ibu. Beberpa kali mobil tampak berhenti di belokan jalan, namun putri yang ditunggu-tunggu si ibu belum juga muncul. Desahan ringan kembali terdengar. Senyum itu mulai meluruh. Ibu kembali bersedih, ia ingat itu hanyalah mimpi. Mimpi sebagai bunga tidur dan tak dapat dipungkiri bahwa itu juga godaan syaitan. Air mata meluruh di pipi ibu, rasa rindu yang tak terhitung kembali menjalari tubuhnya. Segala harapan dan imajinasinya terlalu melambung tinggi untuk diraih. Rasa tidak mungkin, menghampiri si ibu, bahwa putrinya tidak akan kembali.
Matahari sudah diatas ubun-ubun, ibu itu menanggalkan sarapanya lalu pergi bersujud diatas sajadah kusam. Ibu itu mengangkat tangan dengan tasbih masih bergerak berlawanan jarum jam. Rintih pilu terdengar di setip tasbihnya. Ibu itu bersyukur karena masih diberi kesempatan menikmati oksigen yang gratis. Mungkin tahun depan, saat lebaran tiba. Putrinya itu akan datiang dengan toga ditangan. Saat itu, waktu kelulusan putrinya yang sesuai hitungan. Sabar harus bersabar memang. Tidak perlu terlalu berfikir yang tidak baik.
Gudddd
BalasHapus