KKN DI DESA YANG JARAKNYA 1 JAM DARI JANTUNG KOTA JEMBER
1 september
lalu saya memulai magang atau sebut saja KKN (Kuliah Kerja Nyata) di Desa
Rowoindah Kabupaten Jember. Magang selama satu bulan dengan fokus utama kami
membuat 5 program diantaranya pengambilan data, pelatihan kader posyandu,
penyuluhan ibu hamil, penyuluhan balita, demo masak, dan rumah binaan.
Saya kira
kami hanya menjalankan magang untuk menggugurkan tanggung jawab sebagai
mahasiswa, namun saya menyikapi 1 bulan tersebut sebagai kegiatan mempelajari
arti kehidupan.
Sangat berlebihan,
bukan?
Tidak,
karena ketika saya baru datang di desa tersebut rasanya biasa saja. Seperti halnya
desa lain yang warga desanya ramah dan welcome
terhadap pendatang baru.
Akan
tetapi, setelah pengambilan data yang dilakukan selama 2 hari saya terus
terusan merenung. Apa yang saya lihat di awal ternya tidak sesuai dengan
keadaan warga desa.
Semakin kami
menelusuri Desa Rowoindah untuk mencari data kami semakin belajar banyak hal,
terutama rasa bersyukur.
Desa
Rowoindah yang jaraknya 1 jam dari jantung kota Jember bisa dikatakan juga
memprihatinkan. Beberapa warga desa menikmati kehidupan yang sederhana bahkan
kurang. bekerja sebagai buruh tani atau buruh pabrik dengan gaji pas-pasan. Hingga
kami menemukan banyak sekali permasalahan stunting, BBLR dan anemia pada Ibu
Hamil.
Waktu 1
bulan sangat cepat untuk mengatasi permasalah tersebut. Bahkan program yang
kami usung sejak awal tidak relevan dengan permasalahan utama di Desa tersebut
yaitu permasalahan ekonomi.
Dari penuturan
perangkat desa, sedikit sekali warga sekitar yang memiliki pekerjaan tetap. Mereka
hanya menggantungkan hidupnya dari hasil buruh yang tidak seberapa. Oleh karena
itu, untuk mencukupi kebutuhan makan sendiri sangat kurang.
Berdasarkan
wawancara mendalam, warga desa mengaku untuk menu yang diolah sehari-hari
jarang sekali yang menggunakan ikan atau daging, daun kelor lah yang sering
warga desa konsumsi karena sayur tersebut tumbuh subur di depan rumah warga.
Sedangkan,
untuk pemuda desa yang melanjutkan ke perguruan tinggi juga bisa dihitung
menggunakan jari.
Setelah lulus
dari SMA/SMK pemuda desa melanjutkan kerja di kota lain tetapi lebih banyak
merantau ke Bali dengan alasan pekerjaan mudah di cari dengan gaji yang lebih
tinggi di banding dari kota lainya.
Pemuda desa
yang seharusnya menjadi pioneer bagi desanya untuk merubah kultur desa maupun
meningkatkan produktifitas warga desanya memilih untuk memotong pendidikanya.
Sangat disayangkan
memang. Tapi permasalahan ini saya yakin sudah banyak terjadi di desa lainya
atau bahkan belahan bumi lainya.
Komentar
Posting Komentar